Aku berencana
minggu itu untuk pulang kampung dan mempersiapkan segala sesuatunya ditempat
yang paling nyaman yaitu gubuk tempat tinggal keluargaku. Entah bagaimanapun
keadaannya, tetap yang paling nyaman adalah gubuk yang dingin itu. Namun bukan
hanya sekedar hal itu dan yang pasti lebih dari sekedar mengobati rasa rinduku
kepada mereka terutama kepada orang yang hingga saat ini selalu berkorban untuk
diriku, yang dulunya mempertaruhkan nyawanya demi diriku, dan menghabiskan
waktunya untuk memastikan dia melihat diriku ini selalu tersenyum.
Masih tersimpan di
memori otakku, saat itu hari Sabtu, cuaca cerah, aku pulang dengan ditemani dan
diantar oleh Si Merah roda dua pemberian
dari orang yang paling sabar sedunia menurutku. Si Merah dari kelas 2 SMA selalu menemaniku kemanapun aku mau pergi
kecuali memang untuk ketempat-tempat yang dia tidak bisa lewati dia tidak mau
menemaniku.
Pulangku waktu
itu tidak seperti biasanya. Ketika
hampir sampai di lantai pertama gubukku, jalan yang berbatu, seperti tangga naik
keatas, ku rasakan begitu jauh, seorang wanita paruh baya dengan beberapa
ranting pohon ditangannya melihat kearahku dan berhenti dari perjalanannya memberi
makan dua kambing yang tempatnya tidak jauh dari gubukku, tatapannya sedikit
berkaca-kaca, mulutnya agak sedikit bergerak melebar. Kurasakan dia begitu
bahagia melihatku..
“Wah...pulang ternyata kamu, Le”
Wajahnya sudah
tidak asing lagi bagiku, dan ketika aku bertemu dengan dia, bahagia, tentram
dan damai selalu aku rasakan. Seperti tak ada sesuatu yang akan mengancamku
ketika aku dekat dengan dia.
Dia masih
berhenti, memandangiku naik tangga yang terjal tadi menuju lantai pertama
gubukku, dan masih kulihat dia menahan ranting bawannya yang agak banyak.
“Iya Mbok...”
Ku cepatkan langkahku untuk
menghampiri wanita itu.
“Sini Mbok, biar aku bawain”
“Tidak usah, Le...kamu masih capek,..”
Wanita paruh
baya tadi berjalan di depanku mendahuluiku dan menuju dekat dapur gubukku,
sembari sedikit merebahkan tubuhnya untuk meletakkan ranting pohon tadi.
Aku pun berjalan menuju pintu gubukku dan
membukanya, tak lupa aku ucapkan salam terlebih dahulu. Terdengar jawaban, dari
dalam kamar, dan keluarlah akhirnya seorang wanita muda yang sudah tidak asing
lagi bagiku.
“Wah,
mahasiswanya pulang” sembari dia berjalan menuju kamarnya kembali.
“Naufal
tidur ya?” rasa penasaranku yang akhirnya ku ucapkan.
Biasanya ketika
pulang, aku di sambut oleh anak yang berbadan kecil, dia belum bisa bicara, dia
hanya tersenyum dan ketika aku balas dengan senyuman dia pun tertawa. Sayangnya,
saat itu sepi sekali, dan aku pun harus membuat diriku sepi karena wanita muda
tadi menjawab pertanyaanku.
“Iya, jangan
keras-keras bicaranya” Katanya dengan nada seperti berbisik.
Kemudian ku letakkan
tas, helm, dan jaket yang ku kenakan ke dalam ruangan berukuran 3 kali 4 meter,
yang disitu hanya ada ranjang, tempatku selalu beristirahat. Ruangan itu terletak
di lantai pertama, iya, walaupun tidak ada lantai dua di gubukku, aku sebut
demikian karena letak gubukku berada di bagian agak bawah dari sebuah gunung.
Tak berapa lama,
wanita paruh baya tadi datang menghampiriku, membawa dua gelas dan sebuah
tempat yang berisi air putih, dengan menggunakan nampan jalan yang kurasa dia cepatkan, seperti membawa sesuatu yang
berat dan ingin segera diletakkan.
“Diminum, Le!”
“Dari Jogja jam
berapa tadi? Tumben pulangnya bisa sore?” Tanya wanita itu sambil dia berdiri,
terburu menuju dapur kembali.
“Tadi tidak ada
kegiatan, Mbok. Terus bisa pulang jam 2 tadi dari Jogja.”
“Oh ya syukur
kalau begitu...sudah makan belum? Kalau belum makan dulu,..ada nasi tadi aku
masak agak banyak”. Dengan nada dan raut wajahnya yang selalu aku ingat, wanita
itu berkata.
“Oya Mbok, aku
belum makan...”
Wanita itu
kemudian ke dapur kembali. Aku juga mengikutinya, merasa kalau perutku berbunyi,
pertanda lapar. Sampai di dapur aku melihat wanita paruh baya tadi sudah memasukkan
beberapa ranting pohon kedalam tungku yang terbuat dari adukan semen, diatasnya
ditaruhnya tempat yang berisikan kuah santan. Lalu tak lama kemudian keluarlah
asap dan hawa panas dari tungku. Aku yang berjarak kira-kira 3 meter dari
tungku saja, sudah merasakan hawa panas dari tungku dan asap yang mulai menghambat
pernafasan dan pandanganku saat itu. Lalu keringat yang keluar dari dahinya
diusapnya dengan sedikit perlahan-lahan. Walaupun dari kecil aku selalu
bersamanya ketika dia sedang menghadapi situasi seperti itu, namun baru saat
itu aku benar-benar merasakan betapa besar perjuangannya menyiapkan segala
sesuatu untuk keluarganya dan menjadikan diriku hingga seperti sekarang ini. Pikiranku
dululah yang mungkin menutup segala rasa syukurku, dan sekarang aku tahu ketika
semua kebutuhan hampir dapat ku penuhi sendiri, perjuangannya yang seperti tak
kenal lelah untuk membuat diriku ini tersenyum belum dapat ku membalasnya.
“Lauknya yang ini belum masak, Le. Gimana mau nunggu sebentar?”
“Tidak usah, Mbok”
Kemudian ku ambil
piring dan ku taruhkan nasi diatasnya. Kutaburi beberapa lauk yang sepertinya
tadi pagi wanita itu memasaknya. Aku selalu berusaha untuk makan di rumah saat
aku di kampungku karena aku tahu ada wanita tadi selalu menyiapkan masakan
untukku. Maka dari itu ketika aku bermain di tempat saudaraku dan saudaraku
menawarkan makan untukku, aku menolaknya dengan alasan kalau aku sudah makan. Dan
hal itu aku lakukan sejak kecil. Setelah beberapa banyak suapan perutku pun
merasa sudah saatnya berhenti. Saat itu aku belum ingin menceritakan kabar
gembira tentang lolosnya diriku ke 9 besar provinsi OSN Pertamina.
●●●
No comments:
Post a Comment