Full width home advertisement

Ceritaku

Portofolio

Post Page Advertisement [Top]


●●●

Aku berencana minggu itu untuk pulang kampung dan mempersiapkan segala sesuatunya ditempat yang paling nyaman yaitu gubuk tempat tinggal keluargaku. Entah bagaimanapun keadaannya, tetap yang paling nyaman adalah gubuk yang dingin itu. Namun bukan hanya sekedar hal itu dan yang pasti lebih dari sekedar mengobati rasa rinduku kepada mereka terutama kepada orang yang hingga saat ini selalu berkorban untuk diriku, yang dulunya mempertaruhkan nyawanya demi diriku, dan menghabiskan waktunya untuk memastikan dia melihat diriku ini selalu tersenyum.
Masih tersimpan di memori otakku, saat itu hari Sabtu, cuaca cerah, aku pulang dengan ditemani dan diantar oleh Si Merah roda dua pemberian dari orang yang paling sabar sedunia menurutku. Si Merah dari kelas 2 SMA selalu menemaniku kemanapun aku mau pergi kecuali memang untuk ketempat-tempat yang dia tidak bisa lewati dia tidak mau menemaniku.
Pulangku waktu itu tidak seperti biasanya.  Ketika hampir sampai di lantai pertama gubukku, jalan yang berbatu, seperti tangga naik keatas, ku rasakan begitu jauh, seorang wanita paruh baya dengan beberapa ranting pohon ditangannya melihat kearahku dan berhenti dari perjalanannya memberi makan dua kambing yang tempatnya tidak jauh dari gubukku, tatapannya sedikit berkaca-kaca, mulutnya agak sedikit bergerak melebar. Kurasakan dia begitu bahagia melihatku..
“Wah...pulang ternyata kamu, Le”
Wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku, dan ketika aku bertemu dengan dia, bahagia, tentram dan damai selalu aku rasakan. Seperti tak ada sesuatu yang akan mengancamku ketika aku dekat dengan dia.
Dia masih berhenti, memandangiku naik tangga yang terjal tadi menuju lantai pertama gubukku, dan masih kulihat dia menahan ranting bawannya yang agak banyak.
“Iya Mbok...”
Ku cepatkan langkahku untuk menghampiri wanita itu.
“Sini Mbok, biar aku  bawain
“Tidak usah, Le...kamu masih capek,..”
Wanita paruh baya tadi berjalan di depanku mendahuluiku dan menuju dekat dapur gubukku, sembari sedikit merebahkan tubuhnya untuk meletakkan ranting pohon tadi.
   Aku pun berjalan menuju pintu gubukku dan membukanya, tak lupa aku ucapkan salam terlebih dahulu. Terdengar jawaban, dari dalam kamar, dan keluarlah akhirnya seorang wanita muda yang sudah tidak asing lagi bagiku.
                “Wah, mahasiswanya pulang” sembari dia berjalan menuju kamarnya kembali.
                “Naufal tidur ya?” rasa penasaranku yang akhirnya ku ucapkan.
Biasanya ketika pulang, aku di sambut oleh anak yang berbadan kecil, dia belum bisa bicara, dia hanya tersenyum dan ketika aku balas dengan senyuman dia pun tertawa. Sayangnya, saat itu sepi sekali, dan aku pun harus membuat diriku sepi karena wanita muda tadi menjawab pertanyaanku.
“Iya, jangan keras-keras bicaranya” Katanya dengan nada seperti berbisik.
Kemudian ku letakkan tas, helm, dan jaket yang ku kenakan ke dalam ruangan berukuran 3 kali 4 meter, yang disitu hanya ada ranjang, tempatku selalu beristirahat. Ruangan itu terletak di lantai pertama, iya, walaupun tidak ada lantai dua di gubukku, aku sebut demikian karena letak gubukku berada di bagian agak bawah dari sebuah gunung.
Tak berapa lama, wanita paruh baya tadi datang menghampiriku, membawa dua gelas dan sebuah tempat yang berisi air putih, dengan menggunakan nampan jalan yang kurasa dia cepatkan, seperti membawa sesuatu yang berat dan ingin segera diletakkan.
“Diminum, Le!”
“Dari Jogja jam berapa tadi? Tumben pulangnya bisa sore?” Tanya wanita itu sambil dia berdiri, terburu menuju dapur kembali.
“Tadi tidak ada kegiatan, Mbok. Terus bisa pulang jam 2 tadi dari Jogja.”
“Oh ya syukur kalau begitu...sudah makan belum? Kalau belum makan dulu,..ada nasi tadi aku masak agak banyak”. Dengan nada dan raut wajahnya yang selalu aku ingat, wanita itu berkata.
“Oya Mbok, aku belum makan...”
Wanita itu kemudian ke dapur kembali. Aku juga mengikutinya, merasa kalau perutku berbunyi, pertanda lapar. Sampai di dapur aku melihat wanita paruh baya tadi sudah memasukkan beberapa ranting pohon kedalam tungku yang terbuat dari adukan semen, diatasnya ditaruhnya tempat yang berisikan kuah santan. Lalu tak lama kemudian keluarlah asap dan hawa panas dari tungku. Aku yang berjarak kira-kira 3 meter dari tungku saja, sudah merasakan hawa panas dari tungku dan asap yang mulai menghambat pernafasan dan pandanganku saat itu. Lalu keringat yang keluar dari dahinya diusapnya dengan sedikit perlahan-lahan. Walaupun dari kecil aku selalu bersamanya ketika dia sedang menghadapi situasi seperti itu, namun baru saat itu aku benar-benar merasakan betapa besar perjuangannya menyiapkan segala sesuatu untuk keluarganya dan menjadikan diriku hingga seperti sekarang ini. Pikiranku dululah yang mungkin menutup segala rasa syukurku, dan sekarang aku tahu ketika semua kebutuhan hampir dapat ku penuhi sendiri, perjuangannya yang seperti tak kenal lelah untuk membuat diriku ini tersenyum belum dapat ku membalasnya.
 “Lauknya yang ini belum masak, Le. Gimana mau nunggu sebentar?”
“Tidak usah, Mbok”
Kemudian ku ambil piring dan ku taruhkan nasi diatasnya. Kutaburi beberapa lauk yang sepertinya tadi pagi wanita itu memasaknya. Aku selalu berusaha untuk makan di rumah saat aku di kampungku karena aku tahu ada wanita tadi selalu menyiapkan masakan untukku. Maka dari itu ketika aku bermain di tempat saudaraku dan saudaraku menawarkan makan untukku, aku menolaknya dengan alasan kalau aku sudah makan. Dan hal itu aku lakukan sejak kecil. Setelah beberapa banyak suapan perutku pun merasa sudah saatnya berhenti. Saat itu aku belum ingin menceritakan kabar gembira tentang lolosnya diriku ke 9 besar provinsi OSN Pertamina.
●●●

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]